1. Masjid Dian Al Mahri / Masjid Kubah Emas
== Arsitektur ==
Masjid Dian Al Mahri memiliki 5 kubah. Satu kubah utama dan 4 kubah kecil. Uniknya, seluruh kubah dilapisi emas setebal 2 sampai 3 milimeter dan mozaik [[kristal]]. Bentuk kubah utama menyerupai kubah [[Taj Mahal]]. Kubah tersebut memiliki diameter bawah 16 meter, diameter tengah 20 meter, dan tinggi 25 meter. Sementara 4 kubah kecil memiliki diameter bawah 6 meter, tengah 7 meter, dan tinggi 8 meter. Selain itu di dalam masjid ini terdapat lampu gantung yang didatangkan langsung dari [[Italia]] seberat 8 ton[http://www.pontianakpost.com/berita/index.asp?Berita=Islam&id=135386 "Menjadi Kaya dengan Bersedekah"], [[Pontianak Post]], diakses November 2007.
{{br}}
Selain itu, relief hiasan di atas tempat imam juga terbuat dari emas 18 karat. Begitu juga pagar di lantai dua dan hiasan [[kaligrafi]] di langit-langit masjid. Sedangkan mahkota pilar masjid yang berjumlah 168 buah berlapis bahan prado atau sisa emas.
{{br}}
Secara umum, arsitektur masjid mengikuti [[tipologi]] arsitektur masjid di [[Timur Tengah]] dengan ciri kubah, [[minaret]] (menara), halaman dalam (plaza), dan penggunaan detail atau hiasan dekoratif dengan elemen geometris dan [[obelisk]], untuk memperkuat ciri keislaman para arsitekturnya. Ciri lainnya adalah gerbang masuk berupa portal dan hiasan geometris serta obelisk sebagai [[ornamen]].
{{br}}
Halaman dalam berukuran 45 x 57 meter dan mampu menampung 8.000 jemaah. Enam menara (minaret) berbentuk segi enam atau [[heksagonal]], yang melambangkan [[rukun iman]], menjulang setinggi 40 meter. Keenam menara itu dibalut batu [[granit]] abu-abu yang diimpor dari Italia dengan ornamen melingkar. Pada puncaknya terdapat kubah berlapis mozaik emas 24 karat. Sedangkan kubahnya mengacu pada bentuk kubah yang banyak digunakan masjid-masjid di [[Persia]] dan [[India]]. Lima kubah melambangkan [[rukun Islam]], seluruhnya dibalut mozaik berlapis emas 24 karat yang materialnya diimpor dari Italia.
{{br}}
Pada bagian interiornya, masjid ini menghadirkan pilar-pilar kokoh yang menjulang tinggi guna menciptakan skala ruang yang agung. Ruang masjid didominasi warna [[monokrom]] dengan unsur utama warna [[krem]], untuk memberi karakter ruang yang tenang dan hangat. Materialnya terbuat dari bahan [[marmer]] yang diimpor dari [[Turki]] dan Italia. Di tengah ruang, tergantung lampu yang terbuat dari kuningan berlapis emas seberat 2,7 ton[http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2007/072007/23/0104.htm "Masjid Kubah Emas, Sebuah Ikon Keagamaan"], [[Pikiran Rakyat]], diakses November 2007, yang pengerjaannya digarap ahli dari Italia.
ini dibangun oleh Hj. Dian Djuriah Maimun Al Rasyid, pengusaha asal Banten, yang telah membeli tanah ini sejak tahun 1996. Masjid ini mulai dibangun sejak tahun 2001 dan selesai sekitar akhir tahun 2006. Masjid ini dibuka untuk umum pada tanggal 31 Desember 2006, bertepatan dengan Idul Adha yang kedua kalinya pada tahun itu. Dengan luas kawasan 50 hektar, bangunan masjid ini menempati luas area sebesar 60 x 120 meter atau sekitar 8000 meter persegi. Masjid ini sendiri dapat menampung sekitar kurang lebih 20.000 jemaah[2]. Kawasan masjid ini sering disebut sebagai kawasan masjid termegah di Asia Tenggara[3].
2. Masjid An Nurumi
Masjid An Nurumi merupakan salah satu tempat ibadah umat muslim yang terletak di tepi jalan Solo Km 15, Candisari Kalasan Yogyakarta dan memiliki keunikan tersendiri pada arsitekturnya.Keunikan Masjid yang mendapat julukan Masjid permen ini, dapat terlihat dari atap kubah Masjid yang di desain berwarna-warni mirip dengan bangunan di Moscow, Rusia.
3. Masjid Bawah Tanah Tamansari
Masjid Bawah tanah ini masih berada dalam kawasan keraton Jogja dan merupakan bagian dari salah satu fasilitas komplek taman sari (komplek permandian Raja Jogja) masjid ini letaknya berada di bawah tanah, persisnya di bawah taman air (The Water Castle). Berbentuk melingkar dengan rongga-rongga jendela di masing-masing sisinya. Terdiri dari dua lantai dimana lantai bawah dipakai oleh jemaah wanita dan lantai atas untuk jemaah pria.
Di setiap lantai dapat kita temui ruangan tersendiri untuk imam yang memimpin solat. Kedua lantai dihubungkan dengan lima buah tangga yang melintang ditengah-tengah ruangan masjid tersebut, disertai kolam untuk berwudhu tepat di bawah tangga.
4. Masjid Cipari
Masjid saksi Sejarah PerjuangaUmmat
Siapa bakal menyangka bangunan ini adalah masjid. Tanpa menyelidikinya lebih jauh. penampilannya akan membuat kita langsung bisa niengira bahwa bangunan ini adalah gereja. Apalagi ditambah dengan langgam art deco yang dimilikinya, penampilan masjid ini menjadi sungguh istimewa.
Inilah sebuah masjid bersejarah di kawasan pesantren kuno di Kampung Cipari, Kecamatan Wanaraja, Kabupaten Garut. Masjid dan pesantren yang dapat dimasuki dari jalan utama desa ini juga diberi warna sesuai dengan nama desanya, Cipari. Meskipun letaknya agak terpencil, masjid dan pesantren itu kini cukup terkenal di Kota Garut.
Yang membuat Masjid Cipari sangat mirip dengan gereja adalah selain bentuk massa bangunannya yang memanjang dengan pintu utama persis di tengah-tengah tampak muka bangunan,juga keberadaan menaranya yang terletak di ujung bangunan persis di atas pintu utama. Posisi menara dan pintu utama telah menjadikan bangiman ini tampil tepat simetris dari tampak luar.
Dari bentuk dan posisi menara dan pintu utama lersebut, bangunan ini jelas mengingatkan kita pada bentuk bangunan-bangunan gereja.
Jika kita memasuki bangunannya, yang memberi penanda bahwa bangunan ini niasjid hanyalah keberadaan ruang mihrab berupa penampil yang menempel di dinding arah kiblat. Sementara, ruang shalatnya pun lebih mirip ruang kelas yang dapat dimasuki dari pintu di sebelah utara dan selatan atau dari pintu timur yang terletak di antara ruang naik tangga. Boleh jadi, inilah salah satu masjid yang mempunyai bentuk paling lain dari yang lain di Indonesia. Bangunan masjid ini bagaimanapun jelas telah memberi dan menambah khazanah keragaman Arsitektur masjid di negeri kita.
Mungkin dari Seluruh wilayah di Indonesia hanya Masjid Cipari dan Masjid Somobito di Mojowamo Mojokerto, Jawa Timur, yang juga memiliki bentuk mirip gereja seperti ini. Bedanya, di tempat Masjid Somobito berada. mayoritas penduduknya beragama Kristen, tetapi Masjid Cipari ini berada di tengah-tengah pesantren kuno. yang telah berdiri sejak tahmi 1933 dan penduduk desa hampir seluruhnya umat Islam sejak masjid didirikan.
***
YANG juga menjadikan Masjid Cipari istimewa adalah adanya langgam art deco pada bangunan. Sejauh ini hampir tidak pernah dijumpai masjid kuno yang menggunakan langgam seperti itu di seluruh wilayah di Indonesia. Selain itu, langgam art deco ini berada pada bangunan di pelosok desa Cipari, Garut ini. Lain halnya bila langgam seperti inimarak di kota-kota di Jawa,
seperti Surabaya, Semarang, dan terutama Bandung. Bahkan Kota Bandung sempat dijuluki sebagai
surga bangunan bergaya art deco.
Memang, apabila kita berjalan ke berbagai daerah hingga ke pelosok wilayah negeri, sebenarnya kita akan menjumpai banyak hal baru dan menarik yang masih dapat disaksikan dari sisa obyek peninggalan masu lalu, termasuk arsitektur yang anggun dan mengesankan. Kita dan masyarakat secara umum sering kurang mengetahui adanya warisan peninggalan budaya yang unik tersebut.
Hal ini discbahkan minimnya proyek pendokumentasian, selain kurangnya infonnasi dan publikasi yang berkaitan dengan obyek warisan budaya menarik tersebut. Sejarawan arsitektur John Nankivell
saat berkunjung ke Kota Gede, Lawang Malang dan Pasuruuan di Jawa Timur, sempat terbrlalak menikmati pesona arsitektur yang langka. Ini karena adanya berbagai gaya atau langgam seni arsitektur barat atau Eropa yang justrum banyak ditemui di kota-kota pedalaman, seperti Lawang dan Kota Gede tersebut. Yang paling menarik adalah temuan bangunan yang juga berhiaskan elemen-elemen art nouveau dan art deco. Langgam art deco sering disebut sebagai "Style Moderne" yang merupakan gaya desain yang populer selama kurun waktu tahun 1920-an hingga 1930-an. Karena merupakan langgam seni rupa yang pernah melanda dunia di tahun 1920-an, maka art deco sering kali juga disebut The Decorative Twenties (John Nanankivvell, Art Nouveau
and Art Deco In Java, 1977).
Pada Masjid Cipari, langgam art deco sebagaimana dicirikan dengan bentuk geometris, terlihat jelas pada pengolahan fasadnya. Pola-pola dekorasi geometris yang berulang di atas material batu kali memperlihatkan dengan jelas langgam ini. Selain itu, garis horizontal yang halus pada sisi Samping kanan maupun kiri juga mencirikan langgam yang sama. Bentuk menara dan atapnya yang menyerupai kubah dengan beberapa element dekorasi pada bagian samping maupun puncaknya juga mengingatkan pada langgam ini.
Menara masjid berketinggian lebih kurang 20 meter ini menarik perhatian setiap pengamat. bahkan seperti menjadi eye catcher pada bangunan masjid. Mungkin sekadar simbol untuk menandai bahwa bagunan ini bukan gereja melainkan masjid, maka diletakkanlah bulan sabit di ujung menara. Terdapat beberapa lantai pada interiornya, dengan lantai teratas merupakan ruangan sempit berlantai pelat baja yang dikelilingi semacam balkon kecil yang juga daripelat baja.
Aspek menarik lain pada penampilan luarnya adalah bukaan-bukaan masjid yang tidak diolah sebagaimana pintu masuk masjid pada umumnya selain tata letak pintu masuk utama yang mengingatkan pada bangunanan gereja kolonial tersebut adalah komposisi pintu dan jendela di sisi samping bangunan yang lebih terlihat seperti pintu masuk dan jendela-jendela ruang kelas/sekolah atau bangunan kantor pada masa kolonial.
***
SEJARAH bangunan masjid yang biaya pembangunanmya berasal dari gotong royong keluarga pesantren, santri, jemaah, masyarakat & Simpatisan pesantren tersebut juga menjadi aspek menarik tersendiri. Masjid ini sebenamya telah berdiri sejak tahun 1895, tetapi dalam kondisi masih sangat sederhana. Sejak awalnya masjid ini telah berada di dalam kompleks pesantren dan dikelilingi hanya sekitar 20 rumah penduduk. Lalu pada tahnn 1933, KH Harmaen sebagai pendiri pesantren meninggal dunia dan kepemimpinan pesantren dilanjutkan oleh KH Yusuf Tauziri. Saat dipimpin KH Yusuf Tauziri. masjid dibangun dan diperluas seiring dengan kemajuan pesat yang dialami pesantren
Bentuk masjid yang dibangun pada saat itulah sebagaimana apa yang bisa kita lihat sekarang. Pembangunannnya selesai pada tahun 1935 dengan luas bangunan lebih kurang 75 x 30 meter.
Sebagai catatan, kemujuan pesantren saat itu juga ditunjang oleh dihapuskannya ordonansi sekolah luar oleh pemerintah kolonial Belanda pada tanggal 13 Februari 1932 akibat penentangan berbagai orgaiusasi nasional dan Islam, seperti Budi Utomo, Muhamadiyah, PNI, PSII, dan lain-lain. Perluasan masjid ini memiliki kaitan erat dengan situasi pergerakan nasional tersebut karena pimpinan pesantren kebetulan juga seorang ketua PSII cabang Wanaraja. Meski arsitek bangunun masjid hingga saat ini belum dapat diketahui secara pasti, masjid dan pesantren itu jelas memiliki peran dalam perjuangan rakyat Indonesia pada masa kemerdekaan. Para santri selain belajar ilmu agama juga dididik sobagai pejuang. Ini taklepas dari keberadaan masjid dan pesantren sebagai salah satu satu pesantern dari organisasi perjuangan Syarikat Islam.
Masjid Cipari adalah salah satu bangunan bersejarah yang menjadi bangunan cagar budaya di lingkungan Kabupaten Garut. Pendirian mejid ini dilatari oleh dua kesadaran. Yakni; pertama, kesadaran religius dimana Mesjid menjadi tempat beribadah bagi umat Islam. Kedua, kesadaran patriotis. Pada posisi ini Mesjid bukan hanya digunakan untuk ritual ibadah semata, melainkan menjadi markas perjuangan dan pusat pergerakan para ulama pejuang. Mesjid inilah yang dipakai para ulama untuk melakukan musyawarah para pejuang kemerdekaan, bahkan tempat ini pula yang menjadi benteng pertahanan dari serangan luar.
Setidaknya ada dua moment perjuangan penting yang melibatkan mesjid ini, yakni ketika terjadinga gerakan DI-TII dan agresi belanda ke-2. Dibawah komando KH. Abdul Qudus dan KH. Yusuf Tauzirie, masyarakat di wilayah Garut timur dipersatukan dalam laskar Hizbullah, yang diantara angggotanya kemudian menjadi bagian dari tentara Siliwangi. Pada masa pemberontakan DI-TII masjid ini menjadi target serangan mereka, bahkan menurut pelaku sejarah kurang lebih 22 kali mesjid ini diserang oleh DI-TII. Namun, barangkali karena tebal dindingnya yang lebih dari 40 sentimeter, masjid hingga kini masih tegak berdiri dengan kokoh. Sampai sekarang sisa-sisa kejadian tersebut masih bisa dilihat dari lubang bekas-bekas peluru yang terdapat di jendela menara mesjid tersebut.
5. Masjid Menara Kudus
Masjid Menara Kudus disebut juga sebagai mesjid Al Aqsa dan Mesjid Al Manar adalah mesjid yang dibangun oleh Sunan Kudus. Keunikan dari bangunan masjid ini adalah menara berbentuk candi bercorak Hindu Majapahit. Bentuk arsitekturalnya yang sangat khas untuk sebuah menara masjid itulah yang menjadikannya begitu mempesona. Keunikan lainnya, mesjid ini dibangun dengan menggunakan batu dari Baitul Maqdis dari Palestina sebagai batu pertama. Mesjid ini terletak di kabupaten Kudus, Jawa Tengah.
Sejarah mencatat masjid menara kudus berdiri pada 956 Hijriah atau 1549 Masehi dengan nama Masjid Al-Aqsa. Tempat itu dinamakan sama dengan salah satu masjid di Palestina yang kini tetap menjadi perhatian internasional itu. Sesuai kajian sejarah, Ja`far Sodiq (dikenal sebagai Sunan Kudus) yang pernah membawa kenangan berupa sebuah batu dari Baitul Maqdis di Palestina untuk batu pertama pendirian masjid yang kemudian diberi nama masjid Al-Aqsa di Kudus itu.
Belakangan justru masjid tersebut populer dengan panggilan Menara Kudus. Hal ini lantaran merujuk pada menara candi di sisi timur yang memakai arsitektur bercorak Hindu Majapahit.
Ketika Islam masuk ke Nusantara, menurut Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, memang dengan bijak para penyebar Islam menghargai tradisi leluhur yang dijumpai sambil memperkenalkan ajaran Al Quran. Sehingga, antara agama dan budaya setempat saling menopang dan saling mengisi. Agama tak berkembang tanpa wadah budaya dan budaya akan hilang arah dan ruh tanpa bimbingan agama.
Keunikan bentuk masjid ini memang sulit dilupakan. Pasalnya, bentuk ini tak ada yang menyamai di seluruh dunia. Bentuk arsitekturalnya khas dan mempesona. Menurut salah seorang pengunjung, untuk menghormati pemeluk agama Hindu, warga yang bermukim di Kudus tidak menyembelih binatang sapi, mengingat binatang tersebut dalam Hindu dihormati bagi pemeluknya. Mereka taat dan masih memegang wasiat Sunan Kudus.
Menurut sebuah laman, yang ditulis Bambang Setia Budi, bangunan menara Kudus mempunyai ketinggian 18 meter, berukuran sekitar 100 m persegi pada bagian dasar. Seluruh bangunan menggambarkan budaya khas Jawa-Hindu.
Kaki dan badan menara dibangun dan diukir dengan tradisi Jawa-Hindu, termasuk motifnya. Ciri lainnya bisa dilihat pada penggunaan material batu bata yang dipasang tanpa perekat semen, namun konon dengan digosok-gosok hingga lengket serta secara khusus adanya selasar yang biasa disebut pradaksinapatta pada kaki menara yang sering ditemukan pada bangunan candi.
Teknik konstruksi tradisional Jawa juga dapat dilihat pada bagian kepala menara yang berbentuk suatu bangunan berkonstruksi kayu jati dengan empat soko guru yang menopang dua tumpuk atap tajuk.
Sedangkan di bagian puncak atap tajuk terdapat semacam mustoko (kepala) seperti pada puncak atap tumpang bangunan utama masjid-masjid tradisional di Jawa yang jelas merujuk pada elemen arsitektur Jawa-Hindu.
Karena usianya, Masjid Menara Kudus menjadi perhatian para peneliti dan pelancong manca negara. Dalam berbagai laman ditemukan cerita bahwa masjid ini selain masih mempunyai kaitan historis dengan penganut Hindu masa Majapahit, juga punya hubungan historis dengan bangsa lainnya di dunia.
Suprapto, salah seorang pemerhati masjid ini menyebutkan lewat sebuah laman bahwa para ahli sejarah, peneliti, arkeolog, dan penulis buku sejarah kepurbakalaan, umumnya terfokus pada sejarah dan keunikan bentuk bangunannya saja.
Ternyata, kata dia, pernak-pernik Masjid Menara, terutama keramiknya, justru tak kalah menariknya dengan bangunan masjid. Lantas ia menceritakan temuan dua arkeolog asal Jepang, Sakai Takashi dan Takimoto Tadashi, yang meneliti dan menelusuri asal mula berbagai keramik di Masjid Menara tersebut. Hasilnya, dua di antara sekian banyak keramik yang menjadi semacam hiasan di Masjid Menara adalah buatan pabrik keramik di Vietnam abad ke-14 hingga ke-15.
Pabrik itu sudah cukup lama hilang dari peredaran. Sebaliknya, keramik buatan China masih terus berproduksi hingga sekarang. Salah satu penyebabnya, kualitas keramik buatan China lebih bagus.
Namun, bukan semata-mata masalah kualitas yang ditelusuri Sakai dan Takimoto, melainkan berhubungan dengan agama dan peradaban. Warga Vietnam secara umum beragama Hindu dan Buddha. Sedangkan Sunan Kudus, pendiri Masjid Menara, adalah salah satu Wali Songo di Indonesia.
Berdasarkan hasil penelusuran sementara mereka di sejumlah tempat bersejarah dan makam Wali Songo, keramik asal Vietnam pada saat itu paling banyak ditemukan. Ini sungguh menarik untuk ditelusuri.
Dua buah keramik buatan Vietnam di masjid tersebut, satu di antaranya menempel di atas “pintu” bagian utara. Bentuknya segi empat, dengan warna dasar putih, di bagian tengah berwarna sedikit kebiruan dengan motif bunga. Ini usianya paling tua, yaitu awal abad ke-14 atau sekitar tahun 1450.
Keramik satunya lagi menempel di “pintu” sebelah selatan, dengan bentuk lebih besar, lebih menarik, dan lebih didominasi warna biru dengan motif bunga. Umurnya lebih muda, yaitu sekitar menjelang atau awal abad ke-15. Keramik ini bermotif bunga yang “berbau” Vietnam dan bentuknya “berbau” Islam. Motif dan bentuk semacam ini bisa ditemukan di Istambul
6. Masjid Muhammad Cheng Ho
== Sejarah penamaan ==
Nama masjid ini merupakan bentuk penghormatan pada [[Cheng Ho]], [[Laksamana]] asal Cina yang beragama Islam. Dalam perjalanannya di kawasan Asia Tenggara, Cheng Ho bukan hanya berdagang dan menjalin persahabatan, juga menyebarkan agama Islam.
Pada abad ke 15 pada masa [[Dinasti Ming]] ([[1368]]-[[1643]]) orang-orang Tionghoa dari [[Yunnan]] mulai berdatangan untuk menyebarkan agama Islam, terutama di [[pulau Jawa]]. Yang kemudian Laksamana Cheng Ho (Admiral Zhang Hee) atau yang lebih dikenal dengan Sam Poo Kong atau Pompu Awang pada tahun 1410 dan tahun 1416 dengan armada yang dipimpinnya mendarat di pantai [[Simongan]], [[Semarang]]. Selain itu dia juga sebagai utusan [[Kaisar]] Yung Lo untuk mengunjungi Raja [[Majapahit]] yang juga bertujuan untuk menyebarkan agama Islam.
Untuk mengenang perjuangan dan dakwah Laksamana Cheng Hoo dan warga Tionghoa muslim juga ingin memiliki sebuah masjid dengan gaya Tionghoa maka pada tanggal [[13 Oktober]] [[2002]] diresmikan Masjid dengan arsitektur Tiongkok ini.
Masjid Muhammad Cheng Hoo ini mampu menampung sekitar 200 jama'ah. Masjid Muhammad Cheng Hoo berdiri di atas tanah seluas 21 x 11 meter persegi dengan luas bangunan utama 11 x 9 meter persegi. Masjid Muhammad Cheng Hoo juga memiliki delapan sisi dibagian atas bangunan utama. Ketiga ukuran atau angka itu ada maksudnya. Maknanya adalah angka 11 untuk ukuran [[Ka'bah]] saat baru dibangun, angka 9 melambangkan [[Wali Songo]] dan angka 8 melambangkan Pat Kwa (keberuntungan/ kejayaan dalam bahasa Tionghoa).
Perpaduan Gaya Tiongkok dan [[Budaya Arab|Arab]] memang menjadi ciri khas masjid ini. Arsitektur Masjid Cheng Ho diilhami [[Masjid Niu Jie]] (Ox Street) di [[Beijing]] yang dibangun pada tahun [[996]] Masehi. Gaya Niu Jie tampak pada bagian puncak, atau atap utama, dan mahkota masjid. Selebihnya, hasil perpaduan arsitektur [[Timur Tengah]] dan budaya lokal, [[Jawa]]. Arsiteknya Ir. Abdul Aziz dari [[Bojonegoro]].
Sejarah penamaan
Nama masjid ini merupakan bentuk penghormatan pada Cheng Ho, Laksamana asal Cina yang beragama Islam. Dalam perjalanannya di kawasan Asia Tenggara, Cheng Ho bukan hanya berdagang dan menjalin persahabatan, juga menyebarkan agama Islam.
Pada abad ke 15 pada masa Dinasti Ming (1368-1643) orang-orang Tionghoa dari Yunnan mulai berdatangan untuk menyebarkan agama Islam, terutama di pulau Jawa. Yang kemudian Laksamana Cheng Ho (Admiral Zhang Hee) atau yang lebih dikenal dengan Sam Poo Kong atau Pompu Awang pada tahun 1410 dan tahun 1416 dengan armada yang dipimpinnya mendarat di pantai Simongan, Semarang. Selain itu dia juga sebagai utusan Kaisar Yung Lo untuk mengunjungi Raja Majapahit yang juga bertujuan untuk menyebarkan agama Islam.
Untuk mengenang perjuangan dan dakwah Laksamana Cheng Hoo dan warga Tionghoa muslim juga ingin memiliki sebuah masjid dengan gaya Tionghoa maka pada tanggal 13 Oktober 2002 diresmikan Masjid dengan arsitektur Tiongkok ini.
Masjid Muhammad Cheng Hoo ini mampu menampung sekitar 200 jama'ah. Masjid Muhammad Cheng Hoo berdiri di atas tanah seluas 21 x 11 meter persegi dengan luas bangunan utama 11 x 9 meter persegi. Masjid Muhammad Cheng Hoo juga memiliki delapan sisi dibagian atas bangunan utama. Ketiga ukuran atau angka itu ada maksudnya. Maknanya adalah angka 11 untuk ukuran Ka'bah saat baru dibangun, angka 9 melambangkan Wali Songo dan angka 8 melambangkan Pat Kwa (keberuntungan/ kejayaan dalam bahasa Tionghoa).
Perpaduan Gaya Tiongkok dan Arab memang menjadi ciri khas masjid ini. Arsitektur Masjid Cheng Ho diilhami Masjid Niu Jie (Ox Street) di Beijing yang dibangun pada tahun 996 Masehi. Gaya Niu Jie tampak pada bagian puncak, atau atap utama, dan mahkota masjid. Selebihnya, hasil perpaduan arsitektur Timur Tengah dan budaya lokal, Jawa. Arsiteknya Ir. Abdul Aziz dari Bojonegoro.
7. Masjid Perahu
Masjid seluas sekitar 2000 meter persegi yang didirikan KH. Abdulrahman Maksyum ini mempunyai keunikan tersendiri yaitu terdapat bangunan perahu disamping masjid ini. Bangunan perahu ini didirikan untuk menggambarkan perahu Nabi Nuh dalam menghadapi badai banjir yang begitu dahsyat. Bangunan perahu ini sendiri digunakan sebagai tempat berwudhu.
Selain itu, keunikan lain dari masjid ini adalah terdapat Alquran raksasa yang berukuran 120 x 150 cm. Tempat Alquran ini dikelilingi oleh 16 buah batu alam. Alquran buatan KH. Amir Hamzah ini dilapisi kayu jati dengan ukiran kaligrafi.
8. Masjid Pintu Seribu
Nama aslinya Masjid Nurul Yakin. Lokasinya di Kampung Bayur, Priuk Jaya, Jatiuwung, Kabupaten Tangerang, Banten. Cukup mudah dijangkau dengan mobil. Hanya beberapa menit dari pusat Kota Tangerang.
Disebut Masjid Pintu Seribu karena memiliki begitu banyak pintu. Bahkan, pengelola masjid pun tidak tahu persis berapa jumlah pintu yang ada. Karena mereka tidak pernah menghitung jumlah pintu yang ada di masjid itu.
Dari segi usia, masjid ini tergolong muda. Didirikan sekitar tahun 1978. Pendirinya seorang warga keturunan Arab yang warga sekitar menyebutnya dengan Al-Faqir. Semua pembiayaan ia tanggung sendiri. Sebagai penghormatan, warga sekitar memberinya gelar Mahdi Hasan Al-Qudratillah Al-Muqoddam. Kabarnya, Al-Faqir juga sedang membangun masjid serupa di Karawang, Madiun, dan beberapa kota lain di Indonesia.
Pembangunan masjid ini bahkan tidak memakai gambar rancang. Tidak ada disain dasar yang bisa menampilkan corak arsitektur tertentu. Ada pintu-pintu gerbang yang sangat ornamental mengikuti ciri arsitektur zaman Baroque, tetapi ada juga yang bahkan sangat mirip dengan arsitektur Maya dan Aztec.
Sekarang, bangunan mesjid ini sudah mencapai luas sekitar satu hektar. Diharapkan akan semakin banyak warga kampung mewakafkan tanahnya untuk memperluas bangunan mesjid di masa datang.
Di beberapa pintu, tampak ornamen dengan angka 999. Menurut Pak Karim, salah seorang pengurus, angka itu merupakan simbolisasi asma Allah.
Di antara pintu-pintu masjid terdapat banyak lorong sempit dan gelap yang menyerupai labirin. Di ujung lorong ada beberapa ruang berukuran sekitar 4 kali 3 meter persegi. Ruang-ruang diberi nama, antara lain, Fathulqorib, Tanbihul-Algofilin, Safinatul-Jannah, Fatimah, dan lain-lain.
Salah satu ruang bawah tanah itu ada yang agak luas. Di sini terdapat sebuah tasbih superbesar dari kayu. Garis tengah masing-masing butir tasbihnya sekitar 10 sentimeter. Atau sekitar kepalan orang dewasa. Ruang ini biasa dipakai Al Faqir untuk berzikir.
Biasanya, pemandu sengaja mematikan lampu di ruangan itu, dan mengajak yang hadir untuk membayangkan saat-saat di alam kubur yang begitu sempit, pengap, dan gelap. Kemudian ia mengajak berdoa bersama dalam keheningan dan kegelapan.
Semua lorong-lorong itu akhirnya menuju sebuah ruang terbuka yang mirip stadion sepak bola. Di tempat inilah dilakukan shalat berjamaah.
9. Masjid Agung Semarang
Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT) yang dibangun pada tahun 2001 sampai dengan 2006 ini berada di kawasan Semarang Timur, tepatnya berlokasi di Jalan Gajah Semarang. Masjid yang megah dan spektakuler ini berdiri di atas lahan 10 hektare dan memiliki fasilitas yang sangat lengkap, seperti convention hall (auditorium), souvenir shop, pujasera, gedung perkantoran, perpustakaan, dan menara pandang.
Masjid dibangun kurang lebih lima tahun masa pembangunan ini adalah berangkat dari idealisme dan cita-cita yang paling utama yaitu Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT) mampu menjadi pengendali kehidupan sosial ekonomi yang cenderung mengedepankan keduniawian. Secara keseluruhan pembangunan Masjid ini menelan biaya sebesar 198.692.340.000 rupiah.
Masjid Agung diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tang 14 Nopember 2006 dengan menekan tombol sirine dan penandatanganan replika prasasti.
Sedangkan prasati yang asli sudah dipasang secara permanen di halaman depan masuk Masjid setinggi 3,2 meterdengan berat 7,8 ton, adalah batu alam yang diambil dari lereng Gunung Merapi, Kabupaten Magelang, Jateng.
Prasasti ini dipahat Nyoman M. Alim yang juga dipercaya membuat miniatur candi Borobudur yang ditempatkan di Minimundus Vienna Austria pada tahun 2001.
Masjid Agung Jawa Tengah dibangun di areal seluas kurang lebih 10 hektar, dengan luas bangunan induk seluas 7.669M2, dan mampu menampung 6000 jamaah.
Sedang pelatarannya seluas 7500 M2 dilengkapi 6 payung raksasa yangbisa membuka dan menutup secara otomatis seperti yang ada di Masjid Nabawi di kota Madinah, mampu untuk menampung 10 ribu jamaah.
Arsitektur masjid ini merupakan perpaduan antara arsitektur Jawa, Arab dan Yunani. Di bangunan sayap kanan terdapat Convention Hall atau auditorium yang mampu menampung 2000 jamaah, sedang disayap kiri dipersiapkan utnuk perpustakaan yang nantinya di desain menjadi perpustakaan modern (digital library); serta ruang perkantoran yang disewakan.
Masjid Agung Jawa Tengah ini, selain disiapkan sebagai tempat ibadah, juga dipersiapkan sebagai objek wisata religius. Untuk menunjang tujuan tersebut, Masjid Agung ini dilengkapi dengan wisma penginapan dengan kapasitas 23 kamarberbagai kelas, sehingga para peziarah yang ingin bermalam bisa memanfaatkan fasilitas.
Daya tarik lain dari masjid ini adalah Menara Al Husna atau Al Husna Tower yang tingginya 99 Meter. Bagian dasar dari menara ini terdapat Studio Radio DaIs (Dakwah Islam). Sedangkan di lantai 2 dan lantai 3 digunakan sebagai Museum Kebudayaan Islam, dan di lantai 18 terdapat Kafe Muslim yang dapat berputar 360 derajat. Di lantai 19 yaitu untukmenara pandang dilengkapi 5 teropong yang bisa melihat kota Semarang.
Pada awal Ramadhan 1427 H lalu, teropong di masjid ini untuk pertama kalinya digunakan untuk melihat Rukyatul Hilal yang dilihat oleh Tim Rukyah Jawa Tengah dengan menggunakan teropong canggih dari Boscha
Untuk keperluan ibadah, masjid berarsitektur perpaduan universal dan lokal itu mampu menampung 10 ribu jemaah. Di dalam kompleks masjid terdapat wisma penginapan dengan 23 kamar dalam berbagai kelas. Penyediaan wisma ini bertujuan memberikan fasilitas penginapan bagi para peziarah atau wisatawan religi yang ingin bermalam di MAJT.
Bagi yang ingin berekreasi, MAJT juga menyediakan beberapa fasilitas hiburan, seperti arena bermain dan kereta kelinci yang akan membawa pengunjung mengitari kompleks masjid.
10. Masjid Piramida UNDIP (Semarang)
FOTO ini saya temukan saat tengah berselancar di mesin pencari Google. Sekilas mungkin tidak ada yang istimewa dari bangunan yang ternyata Masjid Universitas Diponegoro (Undip), di Jl Prof Soedharto, Tembalang, Semarang, ini. Namun, saya jadi tercenung sendiri karena awalnya mengira bangunan ini adalah sebuah lodge alias tempat pertemuan dan ritual kaum Freemasonry
alias kelompok persaudaraan yang konon terbesar di dunia yang kerap
diasosiasikan dengan kelompok rahasia Yahudi yang lagi-lagi konon merancang segala peristiwa di dunia.
Bagaimana tidak. Bangunan beratap limas ini begitu identik dengan arsitektur khas kaum Masonic: piramida. Ditambah karena puncak atap masjid ini seolah terpenggal layaknya the unfinished pyramid dalam simbol kaum illuminati seperti tergambar dalam uang US$ 1.
Apalagi karena piramida diapit oleh dua pilar (?) layaknya bentuk bangunan yang kerap dikonotasikan sebagai kuil Sulaiman (Solomon's temple). Jika saja ada gambar mata di puncak piramida yang berwarna berbeda itu, tentu lengkap sudah kecurigaan atas arsitektur bangunan ini. Coba bandingkan dengan gambar berikut:
Gambar di atas adalah sebuah tugu yang ada di depan sebuah lodge Freemasonry bernama Eilat yang berada di Israel.
Bandingkan lagi dengan sejumlah gambar berikut yang kerap digambarkan sebagai kuil Salomo (Sulaiman) dan altar persembahan Freemasonry
Bangunan berbentuk limas
Bentuk atap limas sendiri memang bukan sebuah hal yang baru pada bangunan masjid yang ada di negara kita. Bahkan, boleh dikatakan
merupakan ciri khas tersendiri dari masjid yang ada di Nusantara. Bentuk atap yang mungkin saja mengadaptasi bangunan di masa Hindu itu memang ada di hampir seluruh bangunaan masjid yang ada di negara kita, utamanya Jawa.
Model atap limas bersusun tiga ini konon memiliki makna bahwa seorang beriman perlu menapaki tiga tingkatan penting dalam keberagamaannya. Yakni iman, Islam, dan ihsan.
Lalu, apakah Masjid Undip ini memang mengadaptasi bentuk bangunan masjid tradisional? Bisa jadi, karena toh atap bangunan itu tetap bersusun
tumpang tiga. Walaupun bagian atasnya agak sedikit berbeda karena berwarna lain, sehingga sekilas seperti hilang atau terpenggal.
Namun, bagi penyuka teori konspirasi tentu memiliki kecurigaan melihat bentuk bangunan ini. Sebab, kaum konspiratoris memang selalu menganggap tidak ada sesuatu yang berjalan secara kebetulan. Segala hal, baik peristiwa sosial, politik, sejarah, ataupun budaya bukanlah sebuah hal yang terjadi secara serta merta, melainkan karena adanya rencana sistematis dari sekelompok rahasia yang sangat berpengaruh.
Sayapun kemudian mencoba mencari data seputar masjid ini melalui (lagi-lagi) Google. Hasilnya memang tidak banyak memberikan data selain komentar dari sejumlah mahasiswa ataupun sivitas akademika Undip yang menyebut masjid ini sangat teduh dan nyaman. Rancangan masjid ini, berdasarkan penelusuran, diarsiteki oleh Prof Totok Rusmanto, salah satu pakar tata kota Undip.
Namun, saat pada kesempatan lain saya berselancar di Facebook, ada salah satu teman saya yang menerima foto masjid itu di dindingnya. Di sana tertulis komentar bahwa masjid itu dibangun atas bantuan dari World Bank dan IDB. Ada juga komentar yang menyebut bahwa di malam hari saat lampu menyala seolah membentuk mata di puncak piramida yang 'terpenggal' itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar